Ditugaskannya Raden Suwahyu yang dikenal Pangeran Bulu di daerah Bulu atau yang saat ini masuk wilayah Desa Sawo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, bukan tanpa alasan.
Seperti halnya jejak para wali sebelumnya, cucu Sunan Giri ini mendapat penugasan dalam rangka amar makruf nahi munkar. Yaitu, mengajak kebaikan mencegah kemungkaran. Bisa jadi, daerah Bulu dan sekitarnya pada saat itu butuh sentuhan rahmatan lil alamin ajaran Islam.
BAGI masyarakat di wilayah utara Sungai Brantas, dulu Desa Sawo dikenal dengan image yang kurang baik. Bahkan, desa tersebut kerap menjadi bahan olokan. Akibatnya, tidak sedikit warga yang malu bila memperkenalkan diri dengan menyebutkan alamat aslinya. ’’Dahulu Desa Sawo itu populer dengan tandaknya,’’ terang pemerhati sejarah dan folklor, Iwan Abdillah.
Dia menjelaskan, tandak atau penari ronggeng identik dengan perempuan yang dipandang tidak baik. Karena mereka dikesankan nakal dan penggoda laki-laki. Namun demikian, kata Iwan, sebenarnya tandak dari Desa Sawo tidak banyak. Justru sebagian besar berasal dari wilayah sekitar Sawo.
Hanya saja, karena pada era kolonial terdapat besluit atau semacam izin yang diterbitkan pemerintah, maka ada pengakuan secara resmi terhadap grup tandak di Desa Sawo. ’’Penandak kampung di sekitarnya pun beramai-ramai mengklaim sebagai tandak Sawo yang sudah legal,’’ bebernya.
Meski begitu, kesan tidak baik sudah telanjur melekat. Bahkan seakan telah menjadi stigma masyarakat yang sulit untuk dibendung. Namun, dengan keberadaan Mbah Suwahyu menjadi penyejuk tersendiri bagi warga Bulu dan sekitarnya.
Selain mensyiarkan Islam, kedatangannya dianggap mampu menghapus citra buruk terhadap warga Sawo selama ini. Iwan menyatakan, salah satu upaya Mbah Suwahyu menghilangkan anggapan minor adalah dengan menikahkan putra tunggalnya Hisyamudin dengan gadis desa setempat bernama Rantimah. ’’Anak perempuan itu merupakan putri dari Bau Bulu (pimpinan dusun),’’ papar Camat Jetis ini.
Tentu pernikahan tersebut menjadi pergunjingan banyak orang. Tak lain karena keputusan cicit dari seorang ulama besar Wali Songo menikah dengan warga perempuan Bulu yang notabene mendapat sentimen buruk oleh masyarakat.
Namun, hal itu seakan menetralisir image miring yang melekat pada Desa Sawo selama ini. Khususnya bagi kaum Hawa yang mulai tak lagi dipandang sebelah mata. Selama hidup, ulama yang mendapat gelar Pengeran Bulu itu begitu dicintai dan dihormati oleh masyarakat.
Saat Mbah Siswahyu wafat, hampir seluruh warga dirundung duka. Mereka seolah kehilangan sosok yang selama ini mengayomi warga desa setempat. Konon, pada hari duka itu, alam pun seakan turut merasakan kesedihan.
Hujan turun selama berhari-hari hingga menyebabkan banjir. Akibatnya, kondisi tersebut tidak memungkinkan jenazah dimakamkan di desanya. Atas inisiatif putra R. Suwahyu, Hisyamudin, mengusulkan untuk dimakamkan di bukit yang lokasinya ada di Dusun/Desa Jolotundo, Kecamatan Jetis.
Selain tidak terdampak banjir, dipilihnya tempat tersebut juga untuk menghormati tingginya derajat Pangeran Bulu. Sehingga wajar jika disemayamkan di tempat tertinggi layaknya pusara kakeknya Sunan Giri yang juga berada di atas bukit. ’’Itulah mengapa makam Mbah Suwahyu ini berada di pemakaman Dusun Jolotundo yang lokasinya memang makam tertinggi,’’ pungkasnya.